Wanita di Garis Depan Revolusi Teknologi Informasi: Mengapa Kita Perlu Lebih Banyak Pemimpin Wanita dalam TI?

Saat mendengar kata “TI” atau teknologi informasi, yang tergambar pertama kali di benak kita umumnya adalah ruangan berisi laki-laki berbaju kasual, kaos polos atau hoodie dengan celana jeans dan sneaker simpel, asik berkutat dengan komputer. Meskipun sudah tidak jarang keberadaanya, namun membayangkan ada wanita di antara kelompok ini tidak menjadi top-of-mind. Apalagi jika posisinya strategis, sebagai pengarah yang dapat mengkoordinasikan dan mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan TI.  Ini memunculkan narasi yang patut kita soroti: wanita yang dapat berdiri teguh di garis depan revolusi teknologi informasi. Tapi, mengapa kita perlu lebih banyak pemimpin wanita di dunia TI?

  1. Perspektif Psikologis pada Produk yang Dibangun

Dari sudut pandang psikologi, wanita seringkali dinilai memiliki kemampuan empati yang tinggi. Terlepas dari bidangnya, sebagaimana ditekankan Lisa Moren Bromma pada bukunya Wise Women Invest in Real Estate (2006).  Empati ini menjadi modal penting dalam membuat dan memasarkan produk yang human-centered, di mana memahami kebutuhan dan perasaan pengguna menjadi kunci. Pada bidang TI sendiri, telah banyak penelitian menunjukkan kegagalan solusi-solusi berbasis teknologi informasi dikarenakan fokus yang terpaku hanya pada aspek teknologi semata, dan mengabaikan aspek manusianya, padahal jelas-jelas penggunanya adalah manusia. Itu jika dilihat dari sisi outcome.

2. Perspektif Psikologis pada Tim

Sisi lainnya, sebuah tim, seperti yang disebutkan Kim Scott dalam bukunya Radical Candor (2019) selain memerlukan aksi seorang pemimpin memang membutuhkan empati. Keterusterangan yang welas asih perlu melibatkan hati (care personally) dan pikiran (challenge directly).  Karena 3 tanggung jawab seorang manager adalah (a.) memberikan arahan, apresiasi dan kritik; yang akan membuat semua orang bergerak ke arah yang benar, (b.) membangun tim; memahami apa yang menjadi motivasi setiap anggota dalam tim untuk menghindari kelelahan atau kebosanan dan menjaga kekompakan tim, dan (c.) mendorong hasil secara kolaboratif.

Berhubungan dengan hal tersebut, mirip dengan poin pertama, wanita memiliki keuntungan karena cenderung memiliki pendekatan yang lebih empatik dalam pengambilan keputusan. Mereka percaya bahwa setiap anggota tim memiliki perspektif yang berharga. Jika mampu mempertimbangkan berbagai perspektif dan pendapat dengan dasar teknis yang benar, maka dapat menghasilkan solusi yang lebih holistik dan inklusif. Dalam industri TI, di mana kolaborasi dan komunikasi antar tim sangat krusial, model kepemimpinan ini membawa nilai tambah signifikan.

3. Kemampuan Multitasking

Meskipun argumen tentang kemampuan multitasking antara gender masih diperdebatkan, ada anggapan bahwa wanita cenderung lebih baik dalam menangani berbagai tugas secara simultan. Dalam industri TI yang serba cepat, di mana sering kali diperlukan untuk menyeimbangkan proyek, tim, dan tenggat waktu yang berbeda, kemampuan ini sangat berharga.

4. Kemampuan Berinovasi

Diversitas membawa inovasi. Dengan adanya lebih banyak wanita di ruang teknologi, industri TI akan mendapatkan beragam ide dan pendekatan baru yang mungkin sebelumnya tidak pernah terpikirkan.

5. Kemampuan Adaptasi

Selama ini bidang TI memang didominasi oleh kaum pria, wanita seringkali berada dalam posisi minoritas. Menariknya, kondisi tersebut mengarahkankan wanita untuk mempelajari bagaimana cara beradaptasi dengan berbagai situasi dan tantangan. Adaptabilitas ini memungkinkan mereka untuk merespons dengan cepat terhadap perubahan teknologi dan tren industri.

Wanita telah membuktikan kemampuan mereka dalam memimpin dengan integritas, empati, dan visi jangka panjang. Sudah banyak tokoh-tokoh wanita baik dalam dunia politik, ekonomi, bisnis, teknologi dan pendidikan yang memberikan dobrakan yang belum terpikirkan sebelumnya. Dunia TI jelas membutuhkan lebih banyak pemimpin dengan kualitas-kualitas tersebut.

Generasi Z dan Wanita

Generasi Z yang lahir pada pertengahan hingga akhir 1990-an hingga awal 2000-an, tumbuh dalam era di mana digital bukan lagi pilihan tetapi gaya hidup. Dengan akses pendidikan yang semakin inklusif dan egaliter, wanita generasi Z lebih diberdayakan dan memiliki kepercayaan diri untuk memasuki bidang yang sebelumnya didominasi oleh pria, seperti TI. Mereka tumbuh dengan gadget di tangan, menjadikan teknologi sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Generasi Z memiliki karakteristik sebagai digital natives yang memahami teknologi dari dalam. Keakraban mereka dengan teknologi mendorong inovasi dan kreativitas. Wanita generasi Z tidak hanya menelan informasi yang ada, tetapi juga berkontribusi dalam menciptakan solusi baru. Mereka bisa dan telah berada di garis depan dalam pengembangan aplikasi, platform digital, dan solusi teknologi lainnya.

Studi juga menunjukkan adanya tren peningkatan yang cukup signifikan dalam hal jumlah wanita yang tertarik dan memilih prodi bidang teknologi informasi di level pendidikan tinggi. Program studi yang menjadi daya tarik khususnya bagi kaum wanita untuk masuk di dunia teknologi informasi adalah Sistem Informasi. Basis kurikulum Sistem Informasi yang mengkombinasikan aspek manajemen bisnis dan TI, kepemimpinan TI, komunikasi TI serta aspek-aspek teknis yang mengedepankan pemahaman yang mendalam di sisi pengguna (human-centered) menjadikan program studi ini memiliki daya tarik tersendiri, mengingat karakter unik dari wanita.

Pentingnya Budaya Kerja yang Mendukung

Statistik populasi global yang disandur dari Statista menunjukan dari 7,95 miliar orang yang hidup di bumi pada tahun 2022, empat miliar adalah laki-laki dan 3,95 miliar adalah wanita.  Wanita, sebagai separuh dari populasi dunia, memainkan peran penting dalam menciptakan dan mengemban visi masa depan industri teknologi informasi. Namun, bagaimana bisa talenta besar berkembang dan diberdayakan jika tidak didukung oleh lingkungan yang kondusif? Untuk itu, penting bagi perusahaan dan organisasi untuk membentuk budaya kerja yang mendukung. Karena, kenyamanan dan rasa dihargai dalam lingkungan kerja dapat mempengaruhi produktivitas, kreativitas, dan komitmen karyawan.

Kesetaraan gender harus menjadi inti dari budaya kerja. Sebuah lingkungan di mana setiap individu, tanpa memandang gender, mendapat pengakuan yang sama, peluang yang setara, dan perlakuan yang adil. Dalam dunia teknologi informasi, di mana perubahan adalah satu-satunya yang konstan, kesetaraan ini menjadi kunci untuk menjaga keberagaman pemikiran, yang pada gilirannya mendorong inovasi.

Selanjutnya, peluang karir yang sama tidak hanya mengacu pada kesempatan promosi, tetapi juga pelatihan, pengembangan profesional, dan peluang untuk bekerja pada proyek-proyek inovatif. Wanita harus diberi kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang, tanpa batasan atau prasangka.

Tidak kalah pentingnya, fasilitas khusus untuk wanita, seperti ruang menyusui, cuti melahirkan yang memadai, dan dukungan terhadap kesejahteraan kesehatan reproduksi, menegaskan komitmen sebuah organisasi terhadap kesejahteraan karyawannya. Fasilitas-fasilitas ini bukan hanya “fasilitas tambahan”, melainkan investasi dalam kesejahteraan dan produktivitas karyawan.

Akhirnya untuk Indonesia dan dunia, menciptakan budaya kerja yang mendukung wanita bukan hanya sebuah kebutuhan, tetapi sebuah kewajiban. Karena di balik setiap wanita yang berhasil, ada sebuah organisasi yang mendukungnya, dan sebaliknya, di balik setiap organisasi yang berhasil, ada wanita-wanita hebat yang memimpin dan berkarya disana.

Evelline Kristiani, S.Kom., M.TI.

Dosen Prodi Sistem Informasi Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) dan Software Engineer Kawan Lama Group

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *