TRANSFORMASI DIGITAL: EKSPEKTASI VS. KENYATAAN

Transformasi Digital sering disalahartikan dan di simplifikasi sebagai digitalisasi atau adopsi teknologi digital. Digitalisasi dan adopsi teknologi digital berfokus pada aspek teknologi, berbeda dengan transformasi digital yang berfokus pada aspek transformasi. Transformasi yang dimaksud disini adalah transformasi bisnis. Ketidakpahaman esensi dari transformasi digital ini yang selanjutnya menyebabkan kegagalan dari inisiatif atau projek transformasi digital. Hasil studi sampai dengan tahun 2021 menunjukkan tinggal keagagalan yang cukup tinggi diatas 80%. Banyak juga kasus dimana organisasi berpikir sudah melakukan transformasi digital, namun sebenarnya apa yang mereka lakukan masih sebatas digitalisasi atau sekedar adopsi teknologi digital.

Dari perspektif bisnis, transformasi digital tidak sebatas hanya pada benefit efisiensi proses, namun memberikan kapabilitas baru bagi organisasi untuk memperkenalkan model bisnis baru, menginisiasi produk atau layanan baru yang menawarkan value proposition baru, dan tentunya menjadi suatu keunggulan kompetitif bagi organisasi. Yang menarik, berbagai studi menunjukkan suatu kondisi dimana transformasi digital di banyak organisasi semakin terakselerasi, kondisi pandemi, bayang-bayang pelemahan ekonomi nasional dan potensi resesi global tidak memperlambat, namun sebaliknya semakin mengakselerasi. Survei oleh IDC juga memproyeksikan total investasi organisasi untuk transformasi digital diprediksi mencapai USD 2.8T di tahun 2025.

Sehingga menjadi pertanyaan, apa itu transformasi digital? Transformasi digital pada dasarnya adalah sebuah transformasi bisnis yang mencakup proses, model bisnis, domain, dan budaya dengan teknologi digital sebagai enablernya. Dari definisi ini sudah sangat jelas bahwa driver utama dari transformasi digital adalah bisnis, bukan teknologi. Lebih lanjut, karena lingkup dari transformasi digital sifatnya luas dan fundamental bagi organisasi, maka sifatnya harus top-down. Kegagalan memahami hal mendasar ini yang menyebabkan banyak kegagalan dari inisiatif transformasi digital, mulai dari absennya keterlibatan dan komitmen top management, kegagalan mendefinisikan visi dan ruang lingkup transformasi bisnis, dan kecenderungan menyerahkan proses trasnformasi pada divisi TI organisasi karena asumsi bahwa transformasi digital adalah tentang adopsi teknologi.

Pertanyaan berikutnya, apa yang ciri utama yang membedakan transformasi digital dengan digitalisasi atau adopsi teknologi digital? Studi menunjukkan bahwa ada 2 ciri utama yang menjadikan transformasi digital unik. Pertama, transformasi digital menuntut organisasi bertransformasi menjadi data-driven organization. Data-driven organization artinya, keputusan strategis, eksekusi, hingga perbaikan berkesinambungan diputuskan atas dasar insight yang diperoleh dari data, bukan atas dasar intuisi. Kedua, karakteristik dari sifat data yang diolah, dari sebelumnya di dominasi oleh data yang bersifat historik dengan fokus pada pertanyaan ‘What happened?’ bergeser menjadi data yang bersifat realtime dengan fokus pada pertanyaan “What is happening? Why?”.

Dengan kedua karakteristik yang disebutkan, jelas bahwa transformasi digital tidak sesimpel adopsi teknologi, data-driven organization secara fundamental mengarahkan pada perubahan paradigma – mindset – budaya, perubahan bagaimana organisasi berinteraksi dengan penggunanya, perubahan dalam hal bagaimana organisasi dapat mengumpulkan data terkait perilaku pengguna dengan cara-cara yang etis, perubahan dari yang di inisiasi secara top-down bagaimana setiap keputusan strategis haruslah bersifat data-driven, perubahan dalam hal kolaborasi dan bagaimana pengetahuan dalam organisasi dikelola, dibagi-pakaikan, serta perubahan orientasi yang berfokus pada value.

Studi lainnya juga menunjukkan bahwa kunci keberhasilan yang juga menjadi aset utama transformasi digital adalah SDM (Sumberdaya Manusia), bukan teknologi. Mereka yang pola pikirnya masih melihat teknologi sebagai aset utama justru adalah kategori yang belum siap masuk ke fase transformasi digital, pola pikir yang terpaku pada teknologi sebenarnya sama seperti pola pikir era industri awal dimana mesin adalah aset utama organisasi. Harap dicatat bahwa teknologi tidak merepresentasikan kapabilitas, teknologi adalah komponen yang paling mudah ditiru oleh pesaing, sedangkan kapabilitas dibangun dengan waktu melalui SDM yang berkualitas. Yang membuat organisasi menjadi unik ada pada kapabilitas SDM nya dalam memanfaatkan teknologi, jadi bukan karena ada / tidak adanya teknologi. Kemampuan organisasi untuk dapat menarik, meng-hire talent-talent potensial, mengembangkannya, dan selanjutnya mempertahankan talent tersebut jelas membutuhan SDM yang juga berkualitas, bukan teknologi.

Studi menunjukkan bahwa SDM adalah aset kunci untuk kerberhasilan transformasi digital, hal yang sama berlaku sebaliknya, SDM juga menjadi liabilitas utama yang menghambat transformasi digital. SDM yang menolak untuk dikembangkan, memilih bertahan pada kondisi status quo, yang tindakannya mengarah pada upaya menghambat transformasi adalah adalah karakteristik dari SDM yang menjadi liabilitas transformasi digital. SDM yang dimaksud disini juga tidak terbatas hanya pada level staf, namun juga berlaku di level manajemen. Studi lainnya juga menegaskan bahwa isu utama dari transformasi digital di banyak organisasi ada pada masalah resistensi.

Ketika dikaitkan dengan pengalaman akademis, hal apa yang harus menjadi perhatian utama untuk memastikan lulusan akademis adalah SDM yang memenuhi kualifikasi transformasi digital? Studi menunjukkan bahwa soft-skills harus menjadi prioritas utama. Apa yang dimaksud dengan soft-skills dalam konteks transformasi digital? Dan apakah hard-skills menjadi tidak penting dalam konteks transformasi digital? Kembali mengingatkan, bahwa transformasi digital adalah sebuah proses transformasi atau perubahan. Hari ini, dengan kondisi lingkungan bisnis yang sangat dinamis dan sulit diprediksi, transformasi jelas adalah suatu keharusan. Itu sebabnya kita sering mendengar istilah adaptif dan agility sebagai kapabilitas baru yang wajib dimiliki organisasi saat ini. Kapabilitas ini (adaptif dan agility), tidak akan dapat direalisasi jika tidak didukung soft-skills SDM yang memadai. Soft-skills yang dimaksud berkaitan dengan kualitas karakter individu yang mau terus belajar, tertarik mengembangkan skill-nya sesuai dengan kebutuhan terkini, termotivasi untuk mempelajari hal-hal baru. Hal ini penting, karena proses transformasi atau perubahan jelas menuntut SDM untuk mempelajari skill baru yang relevan dengan proses transformasi itu sendiri. Kualitas ini kita sebut dengan istilah ‘high learnability’ atau ‘hungry mind’.

Selanjutnya, apakah hard-skills menjadi tidak penting dalam konteks transformasi digital? Studi menunjukkan bahwa hard-skills penting, namun harus di ingat bahwa hard-skills tidak berlaku selamanya, khususnya dalam bidang teknologi informasi, hard-skills dengan cepatnya menjadi outdated. Pertanyaannya, apakah individu-individu dengan hard-skills yang sudah outdated ini punya soft-skills yang memadai untuk mau belajar kembali, terus mengupgrade dan memperbaharui kembali kompetensi dirinya? Kita sudah terlalu sering mendengar keluhan dimana kompetensi hard-skills yang diperoleh para lulusan selama menempuh pendidikan akademik sudah tidak relevan ketika mereka terjun di dunia kerja. Ada gap yang signifikan antara kompetensi lulusan dengan kompetensi yang dipersyaratkan di dunia industri. Berangkat dari fakta ini, penting untuk memastikan lulusan bidang teknologi informasi memiliki wawasan terkait bisnis dan organisasi, karena apa artinya penguasaan teknologi tapi tidak memiliki pemahaman esensial bagaimana teknologi tersebut dapat di implementasikan dan dimanfaatkan secara tepat guna bagi organisasi. Selanjutnya, apakah kurikulum dan pendekatan pembelajaran yang ada dapat mendorong calon lulusan memiliki mindset yang kompetitif, dalam kaitannya ke kualitas ‘high learnability’ atau ‘hungry mind’ yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dari kondisi tersebut mengarahkan pada satu pertanyaan penting, sebenarnya gap signifikannya ada di hard-skills atau soft-skills?

Kembali ke fakta awal, jika transformasi digital fokusnya bukan pada teknologi, lalu apa yang menjadi prioritas investasi organisasi dalam konteks transformasi digital? Mengapa kondisi pandemi dan potensi pelemahan ekonomi nasional maupun global bukannya menghambat malah semakin mengakselerasi investasi organisasi dalam konteks transformasi digital? Jawabannya kembali ke penjelasan sebelumnya, dalam konteks transformasi digital, fokus investasi organisasi ada pada pengembangan kapabilitas. Kapabilitas yang dimaksud mencakup pengembangan SDM (kita menyebutnya dengan istilah re-skilling dan up-skilling), termasuk juga mencari talent-talent potensial baru; pembenahan organisasi terutama aspek governance dan manajemen strategis; pembenahan dan redefinisi ulang proses bisnis, khususnya proses bisnis yang memiliki dampak besar dalam hal value creation. Bagaimana dengan belanja aset? Tetap ada, namun belanja komponen aset cenderung stagnan. Komponen aset mencakup perangkat keras (Cth: server, storage) dan lisensi perangkat lunak.

Marcel, S.Kom., M.TI., ITIL, COBIT5, PRINCE2, AgilePM

Salah satu dosen prodi Sistem Informasi UKRIDA dengan fokus keilmuan terkait transformasi digital, IT governance and service management, IT infrastructure.

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *