Digital Detox: Mengapa Generasi Digital Harus Melakukan ‘Detoksifikasi’ dari Teknologi?

1. Era Digital dan Ketergantungan Teknologi

Teknologi telah berkembang pesat. Internet yang dulunya lambat, kini bahkan lebih cepat daripada kecepatan kita menghabiskan makanan cepat-saji. Media sosial yang dulunya hanya platform untuk berbagi momen, kini telah menjadi arena pertempuran ide, sarana pendidikan, dan bahkan lahan bisnis.

Tapi apa yang terjadi ketika garis antara dunia digital dan realitas mulai kabur? Generasi muda yang sering disebut sebagai ‘digital natives’, tumbuh dalam lingkungan di mana keberadaan online adalah norma, bukan pengecualian. Dari bangun tidur hingga tidur kembali, notifikasi smartphone tak henti-hentinya mengalir. Bagi banyak orang, rasa cemas mulai muncul saat baterai ponsel menunjukkan angka di bawah 20% atau saat sinyal Wi-Fi tiba-tiba menghilang.

Pada dasarnya ketergantungan kita terhadap teknologi telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Pernahkah kita bertanya-tanya mengapa kita merasa perlu untuk memeriksa ponsel setiap beberapa menit? Mengapa kita merasa tidak nyaman saat berada di tempat yang tidak memiliki akses internet? Jawabannya sederhana, karena kita telah menjadi tergantung.

Generasi muda yang hidupnya tumpang tindih dengan munculnya teknologi canggih, menjadi kelompok yang paling rentan terhadap ketergantungan digital ini. Bagi mereka, dunia digital bukan hanya sarana hiburan, tetapi juga menjadi identitas. Namun, siapkah generasi ini membayar harganya?

2. Digital Overload

Ada sebuah fenomena yang disebut sebagai ‘Digital Overload’. Untuk memudahkan pemahaman, bayangkan diri kita sebagai sebuah smartphone. Seiring dengan waktu dan penggunaan yang intensif, baterai kita mulai terkuras dan membutuhkan waktu untuk diisi ulang. Waktu isi ulang ini yang kita sebut sebagai momen ‘recharge’ dari hiruk-pikuk dunia digital. Sebaliknya, apa yang terjadi jika kita terus-menerus ‘terhubung’ tanpa henti?

Pertama, masalah pada kesehatan mental

Gelombang notifikasi yang tak pernah berhenti, tekanan untuk selalu terlihat sempurna di media sosial, atau rasa FOMO (Fear of Missing Out) dapat mempengaruhi kesehatan mental kita. Studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat meningkatkan risiko kecemasan dan depresi. Bayangkan, saat kita terlalu fokus pada apa yang orang lain lakukan dan miliki, kita mulai merasa tak cukup dengan diri sendiri. Selain itu, layar smartphone atau laptop yang menyala terus menerus sebelum tidur dapat mengganggu pola tidur kita, tidur menjadi kurang berkualitas. Sering kita mendengar anak muda yang mengalami sulit tidur sampai lewat tengah malam karena ‘scrolling’ tak berujung.

Kedua, masalah pada kehidupan sosial

Ketika komunikasi lebih sering dilakukan melalui chat daripada percakapan tatap muka, kemampuan kita untuk berinteraksi dan membangun hubungan yang mendalam bisa terkikis. Kita mungkin memiliki ribuan teman di media sosial, tetapi berapa banyak di antara mereka yang kita kenal dengan baik?

Ketiga, penurunan produktivitas dan kualitas kerja

Mungkin kita merasa produktif dengan banyak tab yang terbuka di browser kita, multitasking antara chat, pekerjaan, dan media sosial. Namun kenyataannya, kita hanya mengalihkan perhatian kita dan memperlambat proses kerja. Kualitas pekerjaan kita juga menurun karena kita tidak fokus sepenuhnya.

3. Teknologi dalam Kurikulum: Program Studi Sistem Informasi

Dalam era digital saat ini, program studi Sistem Informasi memainkan peran yang sangat kritikal. Para mahasiswa diajarkan bagaimana mendesain, mengembangkan, dan mengimplementasikan sistem yang memudahkan kehidupan manusia. Namun ironisnya, lulusan dari program studi ini juga bertanggung jawab atas meningkatnya ketergantungan masyarakat terhadap teknologi. Jadi, bagaimana program studi Sistem Informasi UKRIDA menjembatani hal ini?

Pertama, pemahaman tentang digital detox memberi kesadaran bagi mahasiswa Sistem Informasi mengenai dampak psikologis dan sosial dari solusi yang mereka ciptakan. Meskipun aplikasi dan platform yang mereka kembangkan mungkin memberikan kemudahan dan efisiensi, mereka juga harus mempertimbangkan bagaimana teknologi tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mental penggunanya.

Kedua, program studi Sistem Informasi dapat mengintegrasikan prinsip-prinsip desain yang mendorong penggunaan teknologi yang lebih sehat dan bertanggung jawab. Contohnya, desain antarmuka yang tidak memicu kecanduan atau memberikan notifikasi yang berlebihan. Atau, mengembangkan aplikasi yang membantu pengguna untuk mengatur waktu layar mereka dan memberikan peringatan ketika mereka telah menghabiskan waktu yang berlebihan di depan layar. Kita menyebutnya dengan ‘human-centered design’.

Ketiga, dengan memahami kebutuhan akan digital detox, mahasiswa Sistem Informasi dapat menjadi inovator dalam menciptakan solusi teknologi yang mendukung kesehatan mental dan fisik pengguna. Bayangkan aplikasi yang bukan hanya berfokus pada produktivitas, tetapi juga pada mindfulness, atau bahkan menyarankan aktivitas non-digital sebagai alternatif.

Dengan kata lain, wawasan tentang ‘digital detox’ menjadi bagian integral dari kurikulum Sistem Informasi. Ini bukan hanya tentang mengembangkan teknologi, tetapi juga memahami dampak kepada manusia sehubungan dengan penggunaan teknologi tersebut. Dengan menggabungkan prinsip-prinsip digital detox ke dalam kurikulum, lulusan Sistem Informasi dapat berkontribusi dalam menciptakan dunia digital yang lebih sehat dan berkelanjutan.

4. Apa dan Mengapa Digital Detox?

Digital Detox bisa didefinisikan sebagai periode di mana seseorang dengan sengaja menjauhkan diri dari perangkat elektronik seperti smartphone, komputer, atau televisi. Tujuannya? Jelas untuk mengurangi stres, meningkatkan kesehatan mental, dan memperdalam hubungan interpersonal. Ini bukanlah konsep yang baru, karena konsep ini mirip dengan saat kita memilih untuk berpuasa makanan untuk ‘membersihkan’ tubuh kita.

Mengapa kita perlu ‘membersihkan’ diri dari dunia digital? Pertama, untuk meningkatkan kualitas tidur kita. Mengurangi paparan cahaya biru dari layar sebelum tidur dapat membantu meningkatkan kualitas tidur kita. Kedua, ketika kualitas tidur kita membaik, kita memiliki energi dan clarity untuk mendapatkan perspektif yang lebih jernih tentang realitas dan meningkatkan kesadaran kita terhadap lingkungan sekitar. Ketiga, dalam rangka meningkatkan produktivitas, tanpa gangguan dari notifikasi yang terus-menerus, kita dapatbenar-benar fokus pada tugas yang ada di depan mata.

5. Bagaimana Teknologi Bisa Mendorong Keseimbangan

Di tengah banyaknya ulasan tentang dampak negatif teknologi, tidak sedikit yang lupa bahwa teknologi juga memiliki potensi besar untuk menjadi solusi, bukan hanya sumber masalah. Bagaimana kita dapat menggunakan teknologi untuk mengatasi teknologi. Berikut adalah beberapa contoh bagaimana teknologi dapat membantu kita untuk mengatasi teknologi:

# Aplikasi dan platform yang mendukung kesehatan mental

Dalam beberapa tahun terakhir, aplikasi meditasi seperti “Headspace” dan “Calm” mendapatkan popularitas karena membantu banyak orang menemukan ketenangan di tengah kesibukan. Aplikasi semacam “Daily Haloha” atau “Daylio” membantu pengguna melakukan self-reflection, melacak mood mereka, memberikan insight mengenai pola emosi dan memberi saran tindakan yang dapat diambil untuk meningkatkan kesehatan mental.

# Prinsip-prinsip desain yang mendukung penggunaan teknologi yang bertanggung jawab

Desainer produk digital kini semakin sadar tentang tanggung jawab etika mereka. Mulai dari pengaturan notifikasi yang kurang mengganggu, mode “tidur” yang menenangkan pikiran sebelum tidur, hingga fitur pengingat untuk mengambil jeda dari layar. Prinsip desain yang bertanggung jawab ini mendorong kita untuk menggunakan teknologi dengan cara yang lebih sehat dan sadar.

# Teknologi yang mendorong interaksi sosial yang Sehat

Tidak semua teknologi mengarahkan kita pada isolasi. Aplikasi dan platform seperti “Meetup” atau “Eventbrite” memungkinkan orang-orang untuk bertemu dan berpartisipasi dalam acara atau kegiatan di dunia nyata berdasarkan minat mereka. VR (Virtual Reality) dan AR (Augmented Reality) kini juga digunakan untuk mendorong interaksi sosial melalui game atau simulasi yang mengharuskan kerja sama dan komunikasi antar pemain.

Sangat penting untuk diingat bahwa teknologi adalah alat, dan bagaimana kita menggunakannya yang menentukan dampaknya terhadap kita. Dengan memilih teknologi yang mendukung keseimbangan dan kesejahteraan, kita dapat memastikan bahwa kita mendapatkan manfaat maksimal dari inovasi, tanpa mengorbankan kesehatan mental dan hubungan sosial kita. Akhirnya, anak muda harus mengingat bahwa mereka memiliki kekuatan untuk memilih, mengendalikan, dan memanfaatkan teknologi dengan cara yang paling sesuai untuk mereka. Teknologi bisa menjadi teman, bukan musuh, jika kita tahu bagaimana cara menggunakannya dengan bijak.

Marcel, S.Kom., M.TI., ITIL, COBIT5, PRINCE2, AgilePM

Salah satu dosen prodi Sistem Informasi UKRIDA dengan fokus keilmuan terkait transformasi digital, IT governance and service management, IT infrastructure.

Related Articles

Responses

Your email address will not be published. Required fields are marked *