Mungkinkah Membuat Sebuah Apps Tanpa Harus Menguasai Bahasa Pemrograman Tertentu?
Entah disadari atau tidak ada kecenderungan dimana semakin banyak orang yang bergantung pada perangkat pintar mereka (smartphone, tablet), kecenderungan bergantung ini bahkan pada titik tertentu sudah menjadi candu dan tentunya berdampak pada kehidupan sosial orang tersebut. Sebenarnya apa yang menjadi daya tarik utama dari perangkat pintar ini, kuncinya ada pada apps atau aplikasi mobile. Bayangkan menggunakan sebuah perangkat pintar tanpa apps, selanjutnya kita mungkin akan mempertanyakan kata ‘pintar’ yang digunakan.
Menarik untuk disimak bahwa debut pertama dari App Store diperkenalkan oleh Apple di tahun 2008, App Store inilah yang menjadikan ponsel pintar milik Apple menjadi benar-benar pintar dan berbeda, setiap pengguna dapat menentukan karkteristik penggunaannya berdasarkan apps yang terinstall di perangkat iphone mereka, melihat sukses yang diperoleh Apple, belakangan muncullah pesaing-pesaing baru seperti Android Market (Berubah nama menjadi Google Play Store), Blackberry World, dan Windows Store.
Trend apps masih terus berlanjut, kita bisa melihat adanya kecenderungan pergeseran menuju kearah ekonomi digital yang dicirikan dengan masifnya pertumbuhan startup-startup baik lokal maupun luar negeri. Trend ini tidak main-main mengingat hasil studi yang dilakukan oleh berbagai sumber menunjukkan bahwa ekonomi digital Indonesia adalah yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara berturut-turut dari sejak tahun 2020, 2021. Ciri khas dari para startup digital ini adalah representasi layanan atau produk dalam bentuk apps. Apps ini selanjutnya yang menjadi alat interaksi perusahaan startup dengan para konsumen maupun calon konsumen mereka dengan berbagai fitur dan beragam program promosinya, tentunya dalam rangka menggaet sebanyak mungkin pelanggan setia, karena semakin banyak pelanggan setia, semakin besar pula potensi ekonominya.
Yang juga tidak kalah menarik, hasil studi menunjukkan bahwa trend apps ini mengakibatkan semakin banyak orang yang tertarik untuk dapat membuat apps -nya sendiri, dari sekedar hanya coba-coba sebagai portofolio pribadi, career shifting sampai kearah ide bisnis kecil-kecilan. Masalahnya, untuk dapat membuat sebuah apps, dibutuhkan fase belajar untuk menguasai bahasa pemrograman tertentu. Disinilah letak permasalahannya, banyak yang mundur teratur begitu bicara pemrograman atau coding. Sehingga menjadi pertanyaan, mungkinkah kita dapat membuat sebuah apps tanpa harus menguasai bahasa pemrograman tertentu? Kabar baiknya, saat ini hal tersebut memungkinkan dengan menggunakan pendekatan bernama ‘no code’.
Pendekatan ‘no code’, sesuai dengan namanya memungkinkan kita untuk membuat sebuah apps, ataupun sebuah website tanpa menggunakan bahasa pemrograman, pengguna selanjutnya menggunakan pendekatan berbasis visual dengan melakukan aktivitas ‘drag and drop’. Saat ini ada banyak platform ‘no code’ yang dapat digunakan, baik yang gratis bagi individu sampai berbayar bagi pengguna serius. Pengguna sangat disarankan untuk melakukan eksplorasi terlebih dahulu, mencoba versi gratisnya, membandingkan fitur-fitur yang ditawarkan juga memahami batasan dari platform tersebut sebelum berlanjut menggunakan layanan berbayar mereka.
Mengapa ‘no code’ dan siapa target pengguna ‘no code’? Ada satu kata kunci yang menjadi mantra hampir di setiap organisasi, dan bahkan semakin relevan dengan disrupsi yang kita hadapi saat ini, kata kunci tersebut adalah ‘kecepatan’. Kecepatan mengidentifikasi kebutuhan pasar, kecepatan mengidentifikasi tren perubahan perilaku, kecepatan mengidentifikasi kebutuhan, kecepatan menangkap peluang, kecepatan beradaptasi, kecepatan rilis di pasar, kecepatan merespon umpan balik pengguna dan masih banyak kecepatan-kecepatan lainnya yang menentukan keunggulan kompetitif dan bahkan hidup-mati organisasi itu sendiri. Inilah alasan utama mengapa pendekatan ‘no code’ lahir dan sudah banyak studi kasus yang menunjukkan bagaimana solusi berbasis ‘no code’ ini dapat membantu organisasi secara signifikan, mulai dari dari membuat apps untuk kebutuhan internal divisi atau unit kerja, sampai dengan penggunaan solusi ‘no code’ untuk rilis cepat protitipe ke sisi kustomer.
Lantas apa kita sudah tidak perlu mempelajarai bahasa pemrograman? Jelas masih perlu, ketika bicara solusi aplikasi skala besar yang lingkupnya lintas fungsional, dibutuhkan pemahaman yang baik mulai dari proses bisnis organisasi, workflow alur informasi, arsitektur teknologi dan tentunya sudah pasti kemampuan coding. Lalu apakah pendekatan ‘no code’ menjadi tidak relevan untuk perusahaan besar? Sangat relevan, karena solusi ‘no code’ memungkinkan setiap divisi mampu membuat solusi untuk kebutuhannya sendiri, demikian juga pengembang aplikasi internal dengan keterbatasan sumberdaya dapat dengan cepat membuat solusi kebutuhan untuk kebutuhan internal organisasinya. Platform ‘no code’ dapat menjadi alat bantu kolaborasi dengan pengembang aplikasi profesional dalam mengkomunikasikan kebutuhan mereka, dan yang lebih menarik lagi, pendekatan ‘no code’ menjadi cikal bakal menuju era society 5.0 yang kita sebut sebagai ‘citizen developer’.
Apakah dengan adanya pendekatan ‘no code’ dan Gerakan ‘citizen developer’ menjadikan profesi pengembang aplikasi profesional menjadi tidak serelevan dulu? Sebenarnya profesi ini justru semakin relevan saat ini, kita dapat melihat bagaimana gerakan revolusi industri 4.0, digital society 5.0 dan pandemi covid 19 menjadi faktor pendorong terjadinya percepatan transformasi digital di banyak organisasi, ditambah adanya potensi nyata ekonomi digital Indonesia yang masih menyisakan ruang besar untuk digarap, jelas profesi ini semakin relavan dan dibutuhkan saat ini. Hanya yang perlu menjadi perhatian adalah bahwa pengembang aplikasi profesional saat ini tidak bisa dilihat hanya sebatas sebagai seseorang dengan kemampuan coding atau tukang coding, tapi dilihat sebagai seorang ‘solution architect’. Solution architect artinya mampu melihat permasalahan organisasi secara holistik sebelum beranjak ke solusi berbasis teknologi informasi. Dengan demikian dibutuhkan pemahaman tentang proses bisnis organisasi, manajemen resiko teknologi informasi, arsitektur teknologi informasi, termasuk pendekatan pengembangan solusi yang bersifat agile, hal-hal tersebut yang menyebabkan program studi Sistem Informasi semakin naik daun saat ini, karena hal-hal tersebut hanya dapat dipelajari di kurikulum program sarjana Sistem Informasi.
Hal yang juga perlu menjadi perhatian bahwa solution architect tidak melulu menuntut penguasaan bahasa pemrograman yang mumpuni, karena pada dasarnya seorang solution architect dapat menentukan fokus atau aspek lain dari teknologi informasi, namun tetap menggunakan kacamata holistik. Dengan demikian kurikulum yang fleksibel jelas dibutuhkan untuk menunjang minat mahasiswa/i sebagai seorang calon solution architect. Sebagai contoh di program studi Sistem Informasi Universitas Kristen Krida Wacana, dari sisi penguasaan teknis pemrograman, setiap mahasiswa/i pada awalnya dibekali dengan kemampuan dasar pemrograman untuk mengembangkan aplikasi berbasis web, termasuk pendekatan ‘no code’, selanjutnya bagi mereka yang tertarik lebih lanjut dengan pengembangan aplikasi dapat memilih jalur peminatan full-stack development, sedangkan mereka yang kurang begitu tertarik dengan dunia pemrograman dapat memilih jalur peminatan lain yang juga masih menjadi bagian dari solusi vital, seperti fokus pada manajemen pengembangan produk digitalnya, dan pengembangan UI/UX dari produk atau layanan digitalnya.
Marcel, S.Kom., M.TI., ITIL, COBIT5, PRINCE2, AgilePM
Salah satu dosen prodi Sistem Informasi UKRIDA dengan fokus keilmuan terkait transformasi digital, IT governance and service management, IT infrastructure.
Responses