Apa dan Mengapa Design Thinking?
“Mengenal Lebih Jauh Framework Fenomenal yang Membuat Anda Menjadi Lebih Kreatif”
Apa jadinya ketika kita menggabungkan pendekatan seorang engineer dalam memecahkan masalah dengan pendekatan seorang desainer? Apakah hal tersebut memungkinkan? Jawaban memungkinkan, dan nama pendekatan tersebut adalah ‘design thinking‘. Singkatnya design thinking adalah sebuah pendekatan bisa juga disebut sebagai metodologi yang membantu kita langkah demi langkah untuk menghasilkan solusi yang kreatif terhadap suatu permasalahan. Penulis tidak akan menjelaskan panjang lebar apa itu design thinking secara khusus, karena sudah banyak artikel yang membahas hal tersebut dan termasuk penjelasan teknis dari design thinking. Penulis akan fokus pada mengapa design thinking? Apa yang menarik, apa yang unik dari pendekatan design thinking dalam memecahkan masalah?
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, penulis mengangkat sebuah kasus nyata bagaiman tugas projek di kelas dapat menjadi sebuah inovasi yang berdampak signifikan secara sosial. Kisah berawal dari sebuah tim di tahun 2007 yang beranggotakan 4 orang (Linus Liang, Jane Chen, Rahul Panicker, Razmig Hovaghimian), walau akhirnya bertambah 1 orang menjadi 5 (Naganand Murty). Mereka mengikuti sebuah kelas workshop design thinking di Universitas Standford, dan diberikan kasus berikut: Setiap tahunnya, ada sekitar 20 juta bayi yang lahir prematur dengan kondisi berat badan lahir yang rendah. Di negara berkembang, tingkat kematian bayi menjadi sangat tinggi karena ketiadaan akses pada inkubator. Sebagian besar rumah sakit dan klinik di negara berkembang tidak memiliki cukup inkubator untuk memenuhi kebutuhan yang sangat besar. Inkubator baru sangat mahal, dan inkubator yang diperoleh dari sumbangan membingungkan untuk dioperasikan dan sering sulit untuk dirawat dan diperbaiki. Tugas mereka adalah untuk merancang inkubator yang lebih baik untuk negara berkembang.
Yang menarik, tidak ada seorang pun di tim yang tahu banyak tentang komplikasi kelahiran prematur, apalagi desain produk medis untuk negara lain. Mereka adalah sarjana elektro, sarjana komputer, dan mahasiswa MBA — bukan sarjana kesehatan. Jadi apa yang mereka lakukan?
Tim memulai pencarian informasi di Kathmandu, ibukota Nepal. Setelah menghabiskan beberapa hari mengamati unit neonatal di rumah sakit Kathmandu, tim meminta untuk diajak keluar kota (pinggiran) untuk melihat bagaimana bayi prematur dirawat di pedesaan. Mereka mendapatkan 2 hal yang cukup mengkhawatirkan: Pertama, sebagian besar bayi prematur Nepal lahir di daerah pedesaan (pinggiran). Kedua, sebagian besar bayi mungkin tidak akan pernah sampai ke rumah sakit (Masalah biaya). Mereka menyadari bahwa tidak peduli seberapa bagus desain mereka untuk inkubator baru, mereka tidak akan pernah dapat membantu bayi-bayi ini jika fokusnya di rumah sakit. Untuk menyelamatkan jumlah nyawa sebanyak mungkin, desain mereka harus dapat berfungsi di lingkungan pedesaan (di rumah-rumah). Yang artinya harus dapat berfungsi tanpa listrik dan dapat diangkut dengan mudah (portabel), intuitif (mudah digunakan), dapat dibersihkan, sesuai dengan budaya, dan mungkin yang paling penting — murah.
Di akhir kelas, tim telah berhasil membuat prototipe pertama yang diberi nama ‘Embrace Incubator‘ yang selanjutnya Embrace menjadi merk terdaftar dari startup yang mereka dirikan beberapa tahun kemudian. Desainnya lebih seperti kantong tidur untuk membungkus bayi prematur, dan terdapat kantong berisi material yang dapat menyimpan energi panas untuk menjaga tubuh bayi pada suhu yang tepat — dan mempertahankan suhu ini hingga empat jam. Setelah empat jam, kantong dapat dipanaskan ulang dengan merendamnya di air mendidih selama beberapa menit. Inkubator Embrace berukuran kecil dan ringan, mudah dan murah untuk diangkut ke desa-desa. Kantong tidurnya juga dapat dibersihkan dengan air mendidih. Ini jauh lebih intuitif untuk digunakan daripada inkubator tradisional. Dari sisi harga, dibandingkan dengan harga inkubator tradisional sekitar $20.000, inkubator Embrace hanya berharga $25. Versi pertama inkubator Embrace diluncurkan di India. Pelanggannya meliputi klinik swasta, klinik pemerintah, dan LSM. Studi klinis telah dilakukan di beberapa rumah sakit di India, serta di rumah sakit anak di US. Inkubator Embrace hingga saat ini telah membantu lebih dari 200.000 bayi di 20 negara. (https://www.embraceglobal.org/)
Apa yang bisa kita pelajari dari studi kasus inkubator Embrace dan yang juga menjadi keunikan dari pendekatan design thinking? Jawabannya ada di tahap pertama, yaitu ‘emphatize‘, kita diminta untuk belajar mendengarkan secara objektif, langsung berinteraksi dengan calon pengguna, melihat masalah dari sudut pandang si calon pengguna, tidak terburu-buru membuat asumsi, generalisasi atau bahkan melompat ke solusi. Kita bisa melihat fokus tim yang awalnya solusi inkubator untuk rumah sakit, hingga akhirnya bergeser ke inkubator portabel untuk di rumah-rumah. Keunikan kedua dari pendekatan design thinking ada pada fakta bahwa pendekatan ini merupakan bentuk representasi dari mindset agile. Karakteristik dari agile adalah kita tidak terpaku mengikut langkah demi langkahnya secara linear, ada saat-nya dimana langkah berikutnya menjadi umpan balik untuk langkah sebelumnya, kuncinya adalah fleksibilitas dan adaptabilitas. Dari studi kasus, kita juga mendapatkan istilah prototipe awal, yang biasanya berupa desain sederhana dengan fungsi dasar yang mewakili tujuan utama dari produk tersebut untuk selanjutnya diujicobakan ke calon pengguna.
Pertanyaannya, apakah design thinking hanya cocok untuk kasus-kasus rekayasa industri atau pengembangan produk? Jawabannya tidak terbatas, karena design thinking bersifat generik, dan pada dasarnya design thinking adalah metodologi yang membantu kita untuk memecahkan masalah secara kreatif, jadi hari ini kita akan mendengar design thinking dipakai untuk mengembangkan produk / layanan, membuat strategi bisnis, menentukan desain produk, bahkan termasuk menentukan pendekatan pembelajaran / strategi pembelajaran. Karenanya jangan heran, beberapa sekolah mulai memperkenalkan metodologi kreatif ini kepada para siswa, termasuk di jenjang perkuliahan, metodologi design thinking mulai menjadi bagian dari kurikulum, pembedanya lebih kepada ruang lingkup dan tingkat kedalaman penggunaannya. Contohnya di program studi Sistem Informasi yang potensi kariernya cukup beragam mulai dari bidang UI/UX, manajemen dan pengembangan produk digital, digital marketing communication, manajemen proyek, semuanya membutuhkan kemampuan dalam mengaplikasikan design thinking.
Marcel, S.Kom., M.TI., ITIL, COBIT5, PRINCE2, AgilePM
Salah satu dosen prodi Sistem Informasi UKRIDA dengan fokus keilmuan terkait transformasi digital, IT governance and service management, IT infrastructure.
Responses